Jumat, 16 Januari 2009

Tokoh dan Pokok Ajaran Konfusianisme

KONFUSIANISME
Riwayat Konfusius
Meski Konfusius disakralkan dalam tradisi Cina, namun hanya sedikit aspek dari riwayat hidupnya yang dapat diketahui secara pasti. Sumber terbaik yang ada adalah Analek -- kumpulan ajaran Konfusius yang disusun oleh para pengikutnya. Lama setelah kematiannya, biografinya banyak bermunculan, namun banyak nilai sejarah dari kebanyakan biografi itu yang harus dipertanyakan. Meski demikian, ada beberapa fakta dasar yang masuk akal untuk menguraikan riwayat hidupnya.
Sebagai bungsu dari sebelas bersaudara, Konfusius terlahir sebagai Chiu King pada sekitar tahun 550 SM di negara Lu, wilayah yang terletak di daerah yang kini disebut Shantung. Ia hidup pada zaman saat Budha masih hidup (meski mungkin mereka tidak pernah bertemu), sebelum Socrates dan Plato. Tidak ada yang pasti mengenai nenek moyangnya kecuali fakta bahwa ia berasal dari keluarga yang sederhana.
Seperti yang ia pernah katakan sendiri: "Saat aku kecil, aku hidup di lingkungan masyarakat kelas bawah dan hidup sederhana." Ia diasuh oleh ibunya setelah ayahnya meninggal beberapa waktu setelah ia lahir. Pada masa mudanya, Konfusius terlibat dalam beragam aktivitas, termasuk berburu dan memancing; namun, "Pada usia lima belas tahun, aku membulatkan tekad untuk belajar."
Ia menjabat sebagai pemungut cukai di sebuah kantor pemerintah kecil sebelum ia mencapai usia dua puluh tahun -- usianya saat menikah. Usia pernikahannya pendek, berakhir dengan perceraian, namun memiliki seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Pada awal usia dua puluhan, ia menjadi seorang pengajar -- profesi yang merupakan panggilan hidupnya.
Kemampuannya sebagai pengajar mulai tampak. Kepopulerannya menyebar dengan cepat dan menarik banyak pengikut. Tidak sedikit orang yang tertarik dengan kebijaksanaannya. Ia percaya bahwa masyarakat tidak akan berubah kecuali ia berada dalam suatu organisasi sosial di mana ia dapat menerapkan teorinya.
Konfusius bekerja di kantor pemerintah kecil sampai ia berusia lima puluh tahun. Setelah itu, ia menjadi pejabat tinggi di Lu. Perbaikan moralnya mencapai kesuksesan dalam waktu relatif singkat. Namun, akhirnya ia bentrok dengan atasannya dan kemudian mengundurkan diri dari kantor pemerintah. Setelah itu, Konfusius menghabiskan tiga belas tahun berikutnya untuk mengembara, berusaha menerapkan reformasi politik dan sosialnya. Ia mengabdikan lima tahun terakhir masa hidupnya untuk menulis dan menyunting apa yang kini menjadi sastra Konfusian.
Ia meninggal di Chufou, Shantung, pada 479 SM sebagai seorang pengajar paling berpengaruh dalam budaya Cina. Para muridnya menyebutnya dengan "Raja fu-tzu" atau "Kung sang Guru", yang kemudian dilatinkan menjadi Konfusius.

Prinsip-Prinsip Doktrin
Doktrin-doktrin Konfusianisme dapat dirangkum menjadi enam istilah kunci : "Jen" atau kaidah kencana; "Chun-tzu" atau lelaki sejati; "Chen-ming” atau peranan; "Te" atau kuasa kebajikan; "Li" atau standar tingkah laku; dan "Wen" berkenaan dengan seni kedamaian. Pemaparan singkat keenam prinsip tersebut mengungkapkan struktur doktrin dasar Konfusianisme.
1. Jen. Jen berkenaan dengan kemanusiaan, kebaikan, perbuatan baik, atau kejujuran. Jen adalah kaidah kencana, kaidah timbal balik; artinya, jangan memperlakukan orang lain dengan cara tertentu jika Anda tidak mau diperlakukan seperti itu.
2. Chun-tzu. Chun-tzu dapat diartikan sebagai lelaki sejati atau lelaki yang hebat. Ajaran Konfusius ditujukan kepada pria sejati, pria yang baik.
3. Chen-ming. Konsep penting lain menurut Konfusius adalah Chen-ming atau pembuktian sebutan. Agar masyarakat dapat tertata dengan baik, Konfusius percaya bahwa semua orang harus memainkan peran yang benar. Karenanya, seorang raja harus bertindak layaknya raja, seorang pria sejati layaknya pria sejati, dll..
4. Te. Kata te secara harfiah berarti "kekuatan", namun konsepnya memiliki makna yang jauh lebih luas. Kuasa yang diperlukan untuk memerintah, menurut Konfusius, tidak hanya kekuatan fisik. Sangatlah penting untuk seorang pemimpin menjadi orang yang bijak yang dapat menginspirasi warganya untuk patuh melalui teladan. Konsep tersebut tidak terwujud pada masa Konfusius hidup, yang berkeyakinan bahwa hanya kekuatan fisiklah cara satu-satunya yang tepat untuk memerintah masyarakat.
5. Li. Salah satu kata kunci yang digunakan Konfusius adalah Li. Istilah ini memiliki beragam makna, tergantung konteksnya. Istilah ini dapat berarti kesopanan, penghormatan, ritual, atau standar ideal tingkah laku.
6. Wen. Konsep Wen menunjuk pada seni kedamaian yang sangat Konfusius hargai. Hal ini meliputi musik, puisi, dan seni. Konfusius merasa bahwa semua seni kedamaian itu, yang berasal dari zaman Chou, merupakan simbol kebajikan yang harus dimanifestasikan di seluruh lapisan masyarakat.

Ajaran Konfusius
Konfusianisme bukan satu-satunya yang disebut agama. Konfusius sendiri sangat percaya kepada Tuhan dan mengajarkan Tao-nya yang membimbing umat manusia ke Jalan yang terang, dengan cara ini akan menyatu/manunggal dengan Tuhan, dengan tanpa mempertunjukkan orang dapat membuktikannya; dengan tanpa menggerakkan orang membuat perubahan, dan tanpa berusaha orang dapat memperoleh hasil akhirnya. Ajaran konfusius tidak pernah bertentangan dengan agama lain. Beliau percaya bahwa semua orang di dunia ini adalah bersaudara di bawah Tuhan Yang Esa.
Konfusius lahir di tengah anarki sosial dan intelektual. Menurut Konfusius, kekacauan dan anarki bukan hakikat masyarakat dan peradaban. Rakyat diajarkan untuk memelihara pranata sosial dan kulturalnya, dan kembali kepada li (tata cara atau upacara) dari zaman Dinasti Zhou awal. Konfusiuslah yang mengambil kitab klasik dinasti Zhou keluar dari tempat penyimpanannya dan membeberkannya di depan umum. la mengubah aneka tata cara dan kebiasaan féodal menjadi sistem etika. Inti ajaran: Tao (jalan sebagai prinsip utama dari kenyataan merupakan jalan manusia.) Dengan kehidupan yang baik, manusia menjadikan Tao ítu luhur dan mulia. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (yen).

Pengaruh Konghucu di Indonesia
a. Latar belakang sejarah di zaman kolonial
Orang Tionghoa diyakini telah mendiami tanah Indonesia, yang pada zaman dahulu dikenal sebagai kepulauan Nusantara, sejak abad ke-3 Sebelum Masehi. Sebagaimana halnya umumnya kelompok-kelompok imigran manapun di belahan dunia lain, mereka datang dengan membawa serta budaya, adat istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang mereka anut; tak ketinggalan pula tentunya rasa afinitas terhadap tanah asal mereka. Demikianlah proses tersebut berlangsung selama berabad-abad. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Konfusianisme telah menanamkan akarnya di tanah Indonesia sejak saat itu. Namun pada awalnya ia lebih merupakan nilai-nilai, kepercayaan, dan praktek pribadi yang longgar daripada sebagai sebuah agama baku masyarakat ataupun gerakan sosial. Barulah pada awal tahun 1990-an, usaha untuk membuat Konfusianisme sebagai sebuah gerakan sosial masyarakat yang terorganisasi baik mulai dilakukan.
Pada tahun 1900 berdirilah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta). Pulau Jawa, yang merupakan pulau utama Indonesia dan pulau di mana Batavia berada, kala itu merupakan sebuah daerah jajahan Belanda, sebagaimana kebanyakan daerah lain yang sekarang merupakan bagian dari Indonesia. Daerah-daerah jajahan ini secara keseluruhan disebut Hindia Belanda dan diperintah oleh seorang Gubernur Jenderal dari Belanda yang berkedudukan di Batavia. Dengan tujuan utama melakukan pembaharuan serta meningkatkan pemahaman dan penghargaan terhadap Konfusianisme di kalangan masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, pendirian THHK diresmikan oleh Gubernur Jenderal pada tanggal 3 Juni 1900. Pada tahun 1942, Belanda hengkang. Sejak saat itu, wilayah Hindia Belanda menjadi daerah pendudukan Jepang hingga tiga tahun setelahnya.

b. Konfusianisme di Indonesia setelah Proklamasi Kemerdekaan
Bom atom yang meluluhlantakkan Hiroshima dan Nagasaki pada bulan Agustus 1945 menandai kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II. Para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia memanfaatkan kesempatan ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebuah Undang-Undang Dasar, yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), disahkan tepat sehari kemudian. Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur kebebasan beragama akan dibahas lebih lanjut dalam bagian tersendiri di bawah ini.
Seiring berlalunya waktu, beberapa peristiwa telah memengaruhi perjalanan THHK, sehingga pada tahun 1955 berdirilah Perserikatan Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI). Organisasi ini mirip dengan THHK, memiliki maksud dan tujuan yang lebih kurang sama, dan memang memiliki hubungan kesejarahan dengan THHK. Pada tahun 1961, Kongres VI PKCHI memutuskan dan memproklamasikan “ajaran Nabi Konfusius (Konfusianisme) adalah “AGAMA” dan bahwa Konfusius adalah Nabi agama tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar