NETRALITAS PNS DALAM PILKADA
A. LATAR BELAKANG
Peran Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam kancah perpolitikan di Indonesia telah terbukti keampuhannya pada era orde baru. Pada masa itu PNS secara tidak langsung telah berfungsi sebagai mesin birokrasi, yang dapat dijadikan tumpuan untuk mengumpulkan suara guna memenangkan salah satu kontestan pada pemilihan umum. Hal ini sangat beralasan, sebab di Indonesia, posisi PNS memang masih dianggap cukup terhormat dan diperhitungkan, bahkan animo masyarakat untuk menjadi PNS masih tinggi. Begitu pula posisi PNS dalam pilkada yang dilakukan secara langsung menempatkan PNS pada ranah yang strategis, menjadi rebutan para kandidat kepala daerah. Mereka yakin, satu PNS mampu menarik 5 sampai 10 orang bahkan bisa lebih.
Meskipun sudah ada aturan bahwa PNS tidak dibenarkan menjadi juru kampanye, namun sudah merupakan suatu kebiasaan di negara kita apabila dalam menghadapi pemilihan kepala daerah (Pilkada), ada kontestan yang melirik mereka secara diam-diam atau terkadang ada diantara mereka yang menawarkan sebagai anggota tim sukses dari salah satu kontestan. Dengan harapan apabila calon yang didukungnya memperoleh suara terbanyak, maka sudah dapat dipastikan yang bersangkutan akan mendapat jabatan penting. Sehingga tidak mengherankan apabila seorang kepala daerah dilantik, maka beberapa minggu kemudian akan terjadi pergantian kepala dinas, badan atau kantor.
Undang-undang nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan UU No.8 Th.1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Dimana salah satu isi yang cukup fundamentalis yaitu PNS diharuskan bersifat netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Dengan kata lain PNS sebagai aparatur negara, dalam melaksanakan tugasnya sebagai abdi masyarakat, harus memberikan pelayanan secara adil dan merata.
Mengingat akan hal tersebut, sangatlah penting disadari agar netralitas PNS perlu dijaga guna menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan. Dengan demikian mereka diharapkan dapat menjadi aparat negara profesional, yang memusatkan seluruh tenaga, perhatian dan pikiran kepada tugas yang dibebankan kepadanya
B. Permasalahan :
Berdasarkan latar belakang tersebut maka tulisan ini membatasi permasalahan yang akan dibahas yaitu sebagai berikut :
1. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya PNS tidak netral dan terlibat aktifitas politik praktis dalam pelaksanaan pilkada?
2. Apa saja dampak apabila PNS tidak netral.?
3. Bagaimana upaya agar netralitas PNS dapat terjaga?
PEMBAHASAN
A. Kajian teoritis :
1. Birokrasi
Birokrasi merupakan suatu organisasi yang memiliki jenjang, setiap jenjang diduduki oleh seorang pejabat yang ditunjuk atau diangkat, disertai dengan aturan tentang kewenangan dan tanggung jawabnya, dan setiap kebijakan yang dibuat harus diketahui oleh pemberi mandat (Sedarmayanti, 2008 : 319).
Birokrasi modern, menurut Max Weber (dalam Parenti, 1988 : 255), memiliki karakter yang kompleks dengan orientasi kualitas yang tinggi. Karakteristik birokrasi menurut rumusan Weber secara garis besar adalah :
a. Mobilisasi yang sistematik dari energi manusia dan sumberdaya material untuk mewujudkan tujuan – tujuan kebijakan atau rencana – rencana yang secara eksplisit telah didefinisikan.
b. Pemanfaatan tenaga – tenaga karier yang terlatih, yang menduduki jabatan – jabatan bukan atas dasar keturunan dan yang batas – batas yudiksinya telah ditetapkan secara spesifik.
c. Spesialisasi keahlian dan pembagian kerja yang bertanggung jawab kepada sesuatu otoritas atau konstituensi.
2. Pegawai Negeri Sipil (PNS)
Definisi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah : Setiap WNRI yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasar peraturan perundang – undangan yang berlaku. (Pasal 1, UU 43 / 1999).
Sedangkan dasar pengangkatan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkan untuk jabatan itu. ( Penjelasan Pasal 17 ayat 2 UU 43 / 1999).
Untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan PNS, dalam UU 43 / 1999) ditegaskan bahwa pegawai negeri berhak menerima gaji yang adil dan layak dengan beban kerja dan tanggung jawabnya. ( Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, 2004 : 93).
3. Netralitas dan Profesionalitas Pegawai Negeri Sipil
Profesionalisme adalah pilar yang menempatkan birokrasi sebagai mesin yang efektif bagi pemerintah dan sebagai parameter kecakapan aparatur dalam bekerja secara baik. Ukuran profesionalisme adalah kompetensi, efisiensi dan efektivitas serta bertanggung jawab. Sedangkan netralitas harus dapat dijadikan jargon yang menempatkan aparatur dalam ruang yang tidak terpengaruh oleh kepentingan golongan politik tertentu, sehingga aparatur dapat bekerja memberikan pelayanan kepada publik tanpa diskriminatif (Sedarmayanti, 2008 : 344).
Netralitas PNS tidaklah berarti PNS buta politik dan tidak peduli dengan perkembangan politik, sebagai aparatur negara PNS harus memahami perkembangan politik yang terjadi sehingga tidak mudah dipermainkan oleh tarik menarik kepentingan politik yang ada.
Netralitas PNS dalam pilkada bisa dilihat dari dua aspek. Pertama, PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai kandidat kepala daerah. Kedua, PNS yang terlibat baik karena dilibatkan atau melibatkan diri.
4. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Aturan Pilkada yang tertuang dalam Undang - Undang Nomor 32 tahun 2004 dimana Penyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat telah sejalan dengan Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan juga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR,DPD dan DPRD.
Sebagaimana diungkapkan oleh Kacung Marijan (2006 : 177) bahwa “ Pilkada langsung merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi didaerah yang telah dimulai“. Pemilihan kepala daerah secara langsung pada awalnya disambut baik berbagai kalangan, akan tetapi kenyataan yang ada selama ini justru menimbulkan berbagai masalah, baik itu sengketa antar calon kepala daerah dengan penyelenggara (KPUD), maraknya politik uang (money politic) baik saat proses pencalonan dan pada saat pemilihan, netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun terjadinya disintegrasi sosial dalam masyarakat pendukung masing – masing kepala daerah.
B. ANALISIS MASALAH :
1. Faktor yang menyebabkan terjadinya PNS tidak netral dan terlibat aktifitas politik praktis :
Saat ini kualitas profesionalisme rata – rata birokrasi masih belum memuaskan, salah satu penyebabnya adalah karena prakatik manajemen sumberdaya manusia yang belum benar. Manusia merupakan faktor yang paling menentukan dalam setiap organisasi, termasuk dalam hal ini birokrasi pemerintah yang diawaki sumber daya aparaturnya adalah birokrat. Birokrat sebagai salah satu unsur kekuatan daya saing bangsa, bahkan sebagai penentu utamanya harus memiliki kompetensi dan kinerja tinggi demi pencapaian tujuan, tidak saja profesionalitas dan pembangunan citra pelayanan publik tetapi juga sebagai perekat pemersatu bangsa. Namun pada prakteknya saat ini birokrat yang notabene juga adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) seperti telah kehilangan netralitas dan jiwa profesionalisme-nya, banyak contoh kasus yang membuktikan hal tersebut, bahwa saat berlangsungnya pilkada banyak PNS tidak netral dan terlibat aktifitas politik praktis, ada beberapa faktor yang penyebabnya, yaitu :
a. Adanya intervensi terhadap pengangkatan pejabat karier oleh pejabat politik. Pengangkatan dan pemberhentian pejabat saat ini bukan karena golongan kepangkatan, prestasi kerja, dan senioritas. Namun, promosi jabatan berdasarkan mendukung atau tidaknya pejabat terhadap calon kepala daerah. Sebab, birokrat adalah pejabat karier yang tugasnya justru banyak ditentukan oleh pejabat politik sejak presiden, menteri, gubernur, bupati / walikota, DPR, sampai DPRD. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa beberapa saat setelah pelantikan Kepala daerah hampir dapat dipastikan adanya perombakan kabinet besar – besaran mulai dari eselon terendah sampai tingkat manejerial, untuk membersihkan kabinet dari orang – orang yang ”tidak sepantasnya”. Hal ini yang membuat PNS berani mempertaruhkan netralitasnya sebagai wujud loyalitas.
b. Lemahnya penegakan hukuman / punisment bagi PNS yang melanggar aturan masih belum dilaksanakan secara optimal sehingga tidak ada efek jera bagi yang melanggarnya dan di anggap sebagai sesuatu yang lumrah.
c. Adanya suatu sistem simbiosis mutualisme baik PNS maupun kandidat sama-sama saling tertarik untuk bekerja sama meraih kemungkinan memenangkan pilkada. Apalagi kalau kandidat berasal dari pejabat lama yang ikut menjadi calon, atau kandidat yang berasal dari kalangan birokrasi. Bukankah PNS juga sah-sah saja untuk memperbaiki nasib dan memperoleh kedudukan yang lebih enak dan meningkat? Walaupun melanggar netralitas! Posisi kandidat juga sama, memahami kalau PNS harus netral, tetapi tidak mau tahu tetap saja memanfaatkan PNS, bahkan beserta lingkungannya.
2. Dampak yang terjadi apabila PNS tidak netral
a. PNS sebagai aparatur negara, dalam melaksanakan tugasnya sebagai abdi masyarakat, harus memberikan pelayanan secara adil dan merata namun akibat dari adanya pengaruh golongan dan partai politik menyebabkan terjadinya diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan parpol terutama yang memiliki haluan yang tidak sama dengan pandangannya.
b. PNS sebagai aparat negara profesional merupakan alat perekat persatuan bangsa namun akibat adanya tidak netral maka PNS akan terkotak – kotak dalam bingkai partai, hal ini menyebabkan hubungan antar sesama pegawai mudah pecah dan goyah sehingga dapat membahayakan bagi keamanan negara disamping itu akibat lain yang akan terjadi adalah terjadinya konflik dimasyarakat.
c. Apabila PNS tidak netral maka kemungkinan adanya penggunaan fasilitas dan kebocoran dana negara untuk kepentingan partai politik tertentu walaupun dilakukan secara terselubung.
3. Upaya agar netralitas PNS dapat terjaga:
a. Adanya Aturan Main yang jelas bagi PNS
Penguatan netralitas PNS harus dilakukan melalui pembuatan aturan pelaksana berupa petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) bagi PNS, salah satu pemberi kontribusi adalah aturan mengenai pembatasan PNS dalam partai politik sebagaimana diatur dalam PP Nomor : 5 Tahun 1999 dan PP Nomor : 12 Tahun 1999. Disamping itu dalam UU No 43/1999 tentang pokok-pokok kepegawaian pada Pasal 3 ayat 2 dan 3 secara eksplisit memberikan rambu dan arahan bagi PNS. Dalam ayat 2 UU tersebut menyebutkan PNS harus netral dari pengaruh semua golongan dan parpol serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Olehnya itu dalam ayat 3 menyebutkan untuk menjamin netralitas, PNS dilarang menjadi anggota dan atau pengurus Parpol.
b. Sistem Pola Pengangkatan dan Pemberhentian Pejabat Karier
Pengangkatan dan pemberhentian pejabat, terutama pada tataran eselon yang lebih tinggi, aspek kemampuan manajerial (managerial skill) harus lebih dominan, tetapi hal tersebut sebaiknya dilandasi dengan kemampuan teknis (technical skill) yang memadai, dengan demikian jabatan akan dipegang oleh pejabat yang sesuai dengan keahlian dan latar belakang pendidikan dan bidang pekerjannya bukan karena adanya sistem like and dislike, ataupun dukungan pada pilkada.
c. Perubahan mindset dan peningkatan profesionalitas bagi PNS
Hal yang paling penting adalah perubahan mindset (pola Pikir) dari PNS itu sendiri mengenai bagaimana pentingnya netralitas bagi profesionalitas pelaksanaan tugasnya, caranya dapat melalui sosialisasi dan penataran kembali bagi PNS soal politik.
d. Penegakan hukuman / punisment bagi PNS yang melanggar aturan
Dalam hal ini pemberian sanksi harus dilaksanakan secara tegas tanpa pandang bulu, sebab ketidakoptimalan pelaksanaan kebijakan netralitas PNS berawal dari kurang kuatnya aturan main, lemahnya pengawasan, dan belum berjalannya penegakan hukum dengan baik.
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Banyak faktor yang menyebabkan PNS tidak netral dan terlibat aktifitas politik praktis dalam pelaksanaan pilkada, sebagai bagian dari birokrasi Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu struktur politik yang penting dalam proses demokratisasi, kecenderungan yang terjadi adalah bahwa birokrasi merupakan kekuatan politik yang memihak rezim penguasa dan menjadi alat yang ampuh dalam memperoleh dan melegitimasi kekuasaan, namun hal ini tidak semata – mata kesalahan dari salah satu pihak saja, peran PNS itu sendiri juga sangat mempengaruhi, disuatu sisi yang mencoba memperbaiki nasib dan memperoleh kedudukan yang lebih enak dan meningkat yaitu dengan cara bertaruh dalam kegiatan politik untuk mencapai ambisi pribadi dengan memanfaatkan momen yang ada.
2. Dampak yang terjadi akibat PNS tidak netral adalah diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan parpol terutama yang memiliki haluan yang tidak sama dengan pandangannya, hubungan antar sesama pegawai tidak harmonis dan mudah goyah sehingga dapat membahayakan bagi keamanan negara disamping itu akibat lain yang akan terjadi adalah terjadinya konflik dimasyarakat, penggunaan fasilitas dan dana negara untuk kepentingan parpol yang didukung PNS tersebut.
3. Upaya untuk menjaga netralitas PNS dapat dilakukan dengan cara : menerapkan aturan main yang jelas bagi PNS, sistem pola pengangkatan dan pemberhentian Pejabat Karier, perubahan mindset dan peningkatan profesionalitas bagi PNS, penegakan hukuman / punisment bagi PNS yang melanggar aturan.
B. SARAN
1. Sebagai Abdi negara sudah seharusnya netralitas PNS dalam pilkada di pertahankan, mengingat betapa besar pengaruhnya bagi proses demokratisasi, tidak saja bagi terjaminnya hak suara dan profesionalitas PNS tetapi juga menciptakan pilkada yang berkualitas dan bermutu.
2. Dalam rangka mempertahankan netralitas PNS dalam pilkada pemberian sanksi harus dilaksanakan secara tegas tanpa pandang bulu, sebab ketidakoptimalan pelaksanaan kebijakan netralitas PNS berawal dari kurang kuatnya aturan main, lemahnya pengawasan, dan belum berjalannya penegakan hukum dengan baik.